indonesia

Selasa, 20 Januari 2009

Delapan Orang Diancam Hukuman Mati




Selain Teroris, juga Bunuh Dago Simamora
Wednesday, 21 January 2009

JAKARTA – Para teroris Palembang dibayangi hukuman berat atas perbuatannya. Setelah tiga anggota jaringan diancam hukuman mati, kemarin (20/1), lima anggota yang lain juga menghadapi ancaman hukuman serupa. Hanya dua di antara 10 anggota jaringan yang diancam hukuman lebih ringan, yakni 15 tahun penjara.Lima anggota jaringan tersebut adalah Abdurrahman Taib alias Musa, Ki Agus Muhammad Toni, Sugiarto alias Sugi Cheng, Agustiawarman alias Bukhori, dan Heri Purwanto alias Abu. Mereka menyusul terdakwa Mohammad Hasan bin Saynudin alias Fajar Taslim, Ali Masyhudi alias Zuber, dan Wahyudi alias Piyo yang lebih dulu disidang tanggal 13 Januari lalu.Lima teroris yang dipisah dalam dua berkas tersebut didakwa pasal berlapis. Melanggar pasal 15 jo pasal 6 dan pasal 15 jo pasal 7 Perppu RI No 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang telah ditetapkan menjadi UU No 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Perppu 1/2002 menjadi UU. ”Ancaman hukuman maksimal adalah hukuman mati karena menimbulkan suasana teror di masyarakat,” kata jaksa penuntut umum (JPU) Totok Bambang dalam pembacaan dakwaan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, kemarin (20/1).
Sementara itu, dua anggota jaringan lain, Ani Sugandi alias Abdullah Huzair dan Sukarso Abdillah alias Abdurohman, didakwa dengan pasal 13 huruf b dalam undang-undang yang sama dengan ancaman 15 tahun penjara. ”Mereka hanya mengetahui rencana pembunuhan, tapi tidak melapor ke pihak yang berwajib,” kata jaksa. Sepuluh teroris tersebut adalah hasil penangkapan Detasemen Khusus (Densus) 88 Mabes Polri akhir Juni 2008 lalu.
Didampingi tim penasihat hukumnya, Asludin Hatjani SH dkk, Abdurrahman Cs menyimak dakwaan JPU dan mendengarkan eksepsi dari penasihat hukum mereka secara bergantian. JPU mengungkapkan para, terdakwa terlibat dalam pemufakatan jahat, yakni percobaan melakukan tindak pidana terorisme.
Rencana itu adalah pengeboman kafe Bedudal di Bukittinggi, seperti yang disampaikan Abdurrahman Taib. Namun, peledakan bom itu gagal dilaksanakan karena beberapa perempuan di dalam kafe berkerudung.
Selain itu, Abdurrahman Taib bersama Agustiawarman dan Oloan Martua Harahap pada 2004 lalu menggagas pembentukan organisasi Fakta (Forum Anti-Gerakan Pemurtadan) cabang Sumatera Selatan. Tujuan utamanya, menghadang setiap kegiatan pemurtadan dan mengaktifkan kegiatan dakwah Islam.
Pada Agustus 2006, Abdurrahman mengundang kelompok taklim yaitu Agustiawarman, Heri, Oloan Martua Harahap (buron), Fajar Taslim, Wahyudi, Yosi, Abum, Ani Sugandi, dan Sukarso untuk hadir pada pertemuan di daerah Kebun Karet Km 20 di Kabupaten Banyuasin, Sumsel. Pertemuan itu berlangsung sekitar pukul 23.00 WIB tanpa penerangan.
Dalam pertemuan tersebut, Abdurrahman membuka pembicaraan terkait rencana pembunuhan terhadap pendeta Muhammad Nurdin dan pendeta Walean di Jakarta. Selain menetapkan Abdurrahman sebagai ketua, malam itu juga dilakukan baiat.
Dua minggu kemudian, Wahyudi dan Heri diutus ke Jakarta untuk mengecek keberadaan pendeta M Nurdin dan Walean, namun karena kedua pendeta itu sudah pindah alamat, rencana pembunuhan pun batal. Setelah itu, berangkat dari Palembang, Oloan dan Heri menyusul Wahyudi dan Heri ke Jakarta.
Pada September 2006, Oloan dan Sugiarto kembali ke Palembang. Lalu target mereka berubah, yaitu mencari pendeta Yosua yang dituding sering memurtadkan umat Islam dan beberapa kali melecehkan umat Islam.
”Fajar Taslim berangkat ke Jakarta membantu Wahyudi, karena Heri Purwanto pulang ke Palembang karena sakit. Wahyudi cepat mendapatkan tempat pendeta Yosua di Bekasi. Wahyudi berpura-pura ingin masuk agama Kristen. Setelah pendeta Yosua dan Wahyudi saling mengenal, Wahyudi mendapat informasi langsung bahwa pendeta Yosua akan berangkat ke Bandung. Wahyudi Cs ikut ke Bandung. Dalam perjalanan itulah percobaan pembunuhan terjadi,” beber JPU.
Gagal mengeksekusi pendeta Yosua, Abdurrahman membaiat Ki Agus M Toni dan Ali Masyhudi. Pada 2006, jemaah taklim pimpinan Abdurrahman beranggotakan Fajar, Agustiawarman, Sugiarto, Wahyudi, Heri, Ki Agus, dan Ali mengadakan pertemuan di Lempuing, OKI. Di sana mereka bertemu dengan Sabit alias Sugeng yang berasal dari Jawa Tengah, yang dikenalkan oleh Ani Sugandi.
Nah, Juni 2007, jaringan teroris Palembang juga melakukan pembunuhan terhadap Dago Simamora, guru SMP di Palembang. Ide untuk menembak korban disampaikan Hasan saat mendengar informasi tentang perilaku Dago Simamora yang menyinggung siswi yang mengenakan jilbab. ”Ki Agus Muhammad Toni ditetapkan sebagai eksekutor,” kata jaksa. Tembakan diarahkan ke kepala Dago Simamora.
Menanggapi dakwaan JPU, Asludin Hatjani, kuasa hukum para terdakwa dalam eksepsinya menyatakan bahwa PN Jaksel tidak berwenang mengadili perkara tersebut. Mereka mengacu pada pasal 84 ayat (1) KUHAP. ”Kalau perkara ini mau diadili, seharusnya di Palembang dan Kayu Agung. Itu sesuai locus delicate-nya (tempat kejadian perkara, Red),” kata Asludin. Karena itu, mereka menilai dakwaan JPU harus batal demi hukum.
Sementara itu, Agustiawarman Amd IP SH, seorang dari 10 terdakwa teroris membuat surat pernyataan pengunduran diri sebagai PNS, dengan jabatan staf seksi bimbingan klien dewasa Balai Pemasyarakatan (Bapas) Kelas I Palembang. Surat tersebut ia tujukan kepada Menteri Hukum dan HAM RI, melalui Kepala Bapas Kelas I Palembang. Agus melampirkan fotokopi SK Capeg, SK PNS, SK terakhir, DP3, dan surat pernyataan pengunduran diri yang ditandatanganinya di atas materi 6.000.
”Saya mengundurkan diri agar saya dan keluarga tenang. Begitu juga biar institusi saya mudah melakukan proses pemberhentiannya,” ujar Agustiawarman kepada Sumatera Ekspres di PN Jakarta Selatan, kemarin.
Lain halnya dengan Fajar Taslim, pria asal Singapura yang merupakan anggota Jamaah Islamiyah (JI) itu mengaku bersyukur bisa melaksanakan syariat Islam. Dia tampak tenang dan tubuhnya harum semerbak. ”Memang mujahid (orang yang berjihad) itu, harum...,” selorohnya.

Tidak ada komentar: